Pada Suatu Hari.
Akhirnya, tak ada puisi yang indah untukmu. Kekerasan demi kekerasan terus berlangsung memenuhi waktu. Ada marah yang disertai geram. Kadang kita pusing dengan sejumlah perkara disela-sela canda dan tawa. Aku pikir kamu teramat cemas, ternyata tidak. Ringkik kuda diluar kandang. Keringat teror bercampur keringat gairah syahwat. Hukum memang belum berjalan sebagaimana mestinya, sayang. Apa boleh buat, mestinya kita harus bersabar. Ya, kamu yang berperkara dengan seseorang dan segenap keluarganya itu. Ini urusan yang biasa saja bagimu, sebuah kasus teror, yang tidak melibatkan aku secara langsung. Tapi akhirnya, mau tak mau, aku ikut terlibat. Kamu pun seperti belum mengucapkan terima kasih padaku secara langsung. Ah, itu gak penting. Bagiku, dari keramahanmu saja sudah cukup bagiku. Boleh jadi engkau adalah perempuan perkasa, tapi agak kurang setia (masalah ini akan kujelaskan nanti, jangan tersungging dulu). Akhirnya, hanya kehampaan yang tercipta. Kesia-siaan dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Habis manis sepah dibuang. Aku tak mendapatkan apa-apa darimu, yang bersifat nonmateri. Atau justru aku mendapat banyak pengalaman baru, aku tak tahu. Aku merasa bersalah, kamu justru tak mendapatkan apa-apa dariku. Kita saling menyadari hal itu, bukan?
Akibatnya, aku tak bisa menulis berita lagi. Aku selalu gagal saat mencoba menulis berita lagi. Padahal dulu aku dikenal sebagai penulis, mungkin sampai sekarang. Dan usia pun terus beranjak tua. Ada dunia yang hilang, yang sebetulnya dunia itu ingin kudekap mesra kembali. Kini hanya narasi kecil yang tak menakjupkan. Hanya kisah seorang perempuan yang kebetulan berprofesi sebagai sepiritual yang juga punya usaha perawatan sauna, obat-obatan dan spa. Tapi aku tak tahu mana penghasilan yang halal dan yang haram. Karena aku baru mengenalmu. Aku tak tahu riwayatmu dahulu. Apa kamu brengsek apa tidak, aku tak tahu. Nampaknya riwayat itu kau sembunyikan rapat-rapat. Mungkin kamu tak memiliki buku catatan harian tebal seperti seperti yang aku punya. Di rak bukuku, puluhan buku harian tebal akan menjadi monumen setelah aku tak ada. Sejak ada komputer, aku jadi malas menulis dengan tangan. Padahal tulisan tanganku lumayan bagus, aku termasuk orang yang rajin loh.
Tapi toh aku masih mau membantumu, mendampingimu dalam kesusahan meski tak kau bayar. Seakan-akan kau bisa tegar dalam kesendirian, padahal hatimu rapuh. Kamu sudah sering, tanpa sengaja, mengaku capek, lelah dengan perkaramu ini. Akhirnya aku ikut trenyuh. Diam-diam aku ikut menangis dalam hati, entah kenapa. Tapi mungkin dalam hatimu tertawa. Mungkin aku kelewat lugu, tak tahu kalau aku selalu diakali dan diperalat sedemikian rupa. Itu mungkin, loh!
Banyuwangi adalah Banyuwangi, bukan Jember dimana kau tumbuh dan besar di situ. Sadarilah, bahwa kau adalah perempuan yang hari demi hari akan tak lagi mampu menghadapi gempuran waktu. Harta bendamu lumayan banyak, kau perempuan mandiri yang punya penghasilan sendiri. Tapi apa artinya harta melimpah kalau tak punya cinta kasih, sayang? Dan mungkin, kau tak sempat lagi memikirkan seorang laki-laki sebagai pendamping. Kau janda yang masih cantik, yang masih banyak lelaki yang naksir. Tapi dimatamu semuanya buaya darat, bukan? Aku tahu kamu tak pernah merasa kesepian.
Kita pun pernah memperbincangkan soal jodoh. Jodoh, katamu, ditengah ancaman teror seseorang yang menginginkan kau hengkang dari tempat usahamu - di tangan Tuhan. Kita hanya bisa menerima kalau jodoh itu datang. Ini klise, sayang. Kita bisa menolak, kita punya banyak pertimbangan. Kita punya kehendak untuk mau atau tidak. Memang gampang kalau hanya berteori dengan kata-kata indah. Tapi sangat sulit menerapkannya, bukan? Tak banyak orang yang mau konsekuen dengan kata-katanya sendiri. Meski kita jarang shalat lima waktu, pemahamanmu tentang agama lumayan juga. Menstruasi nggak sampai sebulan penuh.
Akhirnya, kita memang dibuat capek oleh banyak masalah yang belum juga beres. Setiap hari kita sibuk, seperti tak ada waktu untuk merenung. Mungkin akhir-akhir ini penghasilanmu sedikit berkurang karena datangnya masalah yang tak kau sangka sebelumnya. Kadang kamu, sayang, tampak putus asa. Sampai-sampai kau berpikir keras tentang usahamu yang di Penataban itu. Belum lagi ditambah dengan masalah karyawan yang kamu anggap kurang loyal. Tapi aku pikir kau tak akan sekonyol itu dengan keputusan yang gegabah. Itu bisnis halal seratus persen yang sebenarnya sangat menjanjikan. Tentu kau menyadari itu, sayang.
Ternyata dugaanku salah. Engkau sejenis perempuan yang rasional. Saking rasionalnya, sampai hari ini engkau tak punya pendamping yang setia. Menurutmu, semua laki-laki itu sama saja. Cinta yang romantis dan yang benar-benar cinta hanya ada di dalam novel. Setiap hari, kayaknya, engkau sibuk hanya dengan urusan penghidupan. Tapi mungkin penilaianku ini salah. Memang, engkau bukan perempuan seperti Siti Khotijah, istri Rasulullah pertama itu, yang kaya raya, yang ikhlas mengorbankan semua harta bendanya untuk suami tercinta dalam menegakkan sebuah keyakinan. Engkau memang bukan Siti Khotijah. Mungkin lebih baik darinya ya?
Tiba-tiba kita jarang berkomunikasi lagi, mungkin untuk selamanya. Sepertinya urusanku sudah selesai sampai di sini. Mungkin itu adalah bagian dari takdir: engkau tidak bisa masuk ke Banyuwangi dengan nyaman. Sebagai sepiritual, (istilah ini lebih keren tinimbang memakai istilah perdukunan) adalah jalan hidup yang sangat disyukuri. Engkau mengingat sekian banyak pasal, tingkah lalku tentang jiwa seseorang. Tapi kadang kita bertindak bukan atas nama kebenaran itu sendiri, tapi atas nama pemelintiran jiwa yang tidak setabil. Kita bertindak atas nama jiwa, harga diri, kekuasaan, uang, dan sebagainya dan sebagainya. Untuk yang ini aku memang nggak ngerti.
Dan kita belum mau meninggalkan itu semua karena itu dunia pengnghidupan terpenting yang mengasikkan. Merenung dan berpikir tentang asal mula segala kejadian dianggap buang-buang waktu saja. Kalau sudah begitu, tentu tulisan ini sangat menjemukan. Aku mencoba merenung, tapi rasanya dangkal sekali. Dulu, meski agak kau remehkan, aku adalah seorang aktivis, mengurus banyak kasus. Sebelumnya aku menjabat Pimpinan redaksi Media yang kulepas karena kuanggap teramat membebani, sementara itu aku semakin kehilangan gairah untuk aktif di ilmu kewartawanan karena wartawan semakin gak populer di mata masyarakat. Mungkin, aku memang gak bakat jadi penguasa. Walau di Banyuwangi namaku sudah malang melintang, dikenal di pelbagai kalangan.
Sejak dulu aku senang di dunia semacam ini. Oleh sebab itu nggak salah kalau Pak Wiyono tiba-tiba minta tolong padaku untuk ikut menyelesaikan perkara kalian. Akhirnya aku ngajak teman-temanku yang lain. Kenapa? Apa kamu masih meragukan kelebihanku itu? Mungkin gayaku terlalu kalem, klemar-klemer dimatamu. Tapi ketahuilah, kenyataannya banyak kawanku yang setia, yang mengaku kagum pada budi pekertiku, ketulusan hatiku, wawasanku yang nggak banyak omong, dan kecenderunganku pada hal-hal yang baik. Kalau orang sering bohong, jangan harap bisa dipercaya selamanya, jangan harap dia punya banyak sahabat! Aku nggak mau licik, apalagi sengaja mau menyakiti perasaan orang lain.
Katakan saja, sayang, bahwa ini adalah sebuah pledoi yang nyastra. Yang dibela adalah masalah perasaan, masalah hati yang tiba-tiba merasa nelangsa, entah kenapa. Artinya, aku sekarang bukan lagi ahli renung yang piawai mengorek relung-relung renung. Tapi aku menolak kalau teks ini dikatakan teks cinta. Aku hanya mencoba memahami tugas seorang dalam menangani kasusnya sendiri. Kenapa harus malu ketika publik tahu bahwa seorang harus didampingi oleh LSM? Kadang kita terjebak oleh baju, padahal yang kuperjuangkan adalah masalah kemanusiaan dan kekerasan. Celakanya, yang didampingi adalah perempuan yang sedikit punya gengsi tapi mau-mau saja didampingi. Masih ada sejenis keangkuhan profesi. Dalam hal ini, kadang kamu brengsek.
Seandainya engkau seorang sastrawati, sayang, tugasmu sebagai tentu semakin kaya warna. Sesuatu yang sebenarnya nonsens bisa seolah-olah indah dan jadi pembenaran yang sungguh meyakinkan. Ada semacam “ayat-ayat cinta” di situ. Maka, sejak kenal kamu, aku semakin tertarik dengan masalah-masalah hukum. Sampai hari ini, terus terang, aku hanya tahu sedikit soal hukum. Denger-denger masalah hukum di Indonesia masih mulur mungkret, ya?
Hati kita seperti merasakan sesuatu, seperti cinta pertama. Ah, nggak, itu cuma perasaanku. Kita seperti terlena di situ. Adonan perasaan yang kadang sulit diterjemahkan. Mungkin beruntung aku bisa sedikit menulis, walau kadang menulis itu mencemaskan: takut salah dan tak menemukan kata-kata yang paling tepat. Ketika aku menyatakan cinta pada seseorang, satu kata itu tak bisa diterjemahkan secara memuaskan meski ditulis ratusan halaman sekalipun. Aku kangen padamu…
Maka, banyak hari membenamkan diri dalam kesibukan dan kegamangan sekaligus, kata jejak-jejak ingatan dalam otakku. Kematian dan kelahiran, cinta dan kebencian menjadi kembang mawar berduri di musim hujan. Entah kenapa, mungkin rumahku senantiasa menawarkan suasana tenteram. Rumahku adalah istanaku yang sekaligus sebagai tempat singgah oleh mereka. Mencoba melupakan dirimu sama halnya aku melupakan kehidupan. Atau aku harus, mau tak mau, hanya menunggu di sini, menunggu sesuatu yang tak pasti. Menunggu entah apa yang harus ditunggu.
Kita mencoba membereskan sejumlah perkara dengan satu kibasan tangan, dan semuanya menjadi beres? Tapi sungguh keterlaluan, memang ada sebuah kritik yang tajam. Membuat kamu tak terima dan merasa tersinggung. Tapi aku, mungkin, bisa membangkitkan gairahmu dengan kata-kata. Mendorong kamu supaya lebih yakin, bahwa kamu adalah perempuan asli. Aneh, di zaman yang serba rasional ini masih ada orang yang melankoli.
Betapa nikmatnya mengungkai kenangan yang indah. Banyak pengalaman yang mengharukan di situ. Tampaknya kau tak punya kenangan manis yang terus-menerus enak dikenang? Waktu telah menandai sejumlah perjalanan yang sia-sia. Tapi engkau masih hidup, sayang, masih sempat jika ingin mengukir kenangan. Musim hujan, makan rambutan dan duren (bukan singkatan dari duda keren!), bukan berarti juga musim bercinta. Kita mempunyai tujuan yang sama, yakni ingin bahagia. Kita sudah mempunyai keturunan masing-masing. Kelahiran dan kematian dan akhir dunia. Hati kita menjadi lembut atau justru semakin mengeras?
Mungkin wajah Tuhan yang selama ini kita cari. Untuk sesuatu dimasa yang akan datang yang masih dipenuhi keinginan. Dan pada suatu hari kelak, secara kebetulan kita menemukan sebuah buku yang bagus di toko buku Timur Bersaudara:. Sebentuk narasi yang ditulis secara intens., sebuah karya yang tak harus dimengerti maknanya. Di buku itu, kita akan sia-sia jika hanya sekadar mencari pengertiannya. Sejumlah sajak di situ semuanya nyaris tak bisa dimengerti. Semacam celoteh anak kecil pada dunia solilokui.
Mungkin kamu akan mencoret namaku di situ. Atau mencoba melupakanku? Sebab ada yang dirasa tidak logis, konyol, dan memalukan. Dan akhirnya otak kita hanya dipenuhi pengandaian yang tidak mendatangkan keputusan apa-apa. Kita sama-sama berdiam diri. Mungkin diantara kita ada yang sangat sesuai, atau hanya saling membutuhkan pendamping, atau apa? Dari pesan singkat yang bisa menusuk harga diri. Dari hari-hari yang sepi dan kesibukan. Telah melukai diri sendiri?
Rasanya seseorang akan tahan walau tak ada pendamping yang setia, yang mencintai, dan sebagainya dan sebagainya. Banyak orang yang kesulitan mendapat pasangan yang ideal, bukan? Hidup menjanda dengan segala macam gosipnya. Untuk apa hati jadi terluka? Nilai moral yang bagaimana yang harus dipertahankan di zaman yang nyaris bebas sekarang ini. Kita bisa mandi susu, mandi sauna dan dipijit untuk menghilangkan stress. Oi, begitu saja kok repot. Jadi, tak ada cinta yang keras kepala. Aku di sini hanya mencoba menggambar, merangkai lagi sifat-sifatmu, dan segala ucapanmu.
Kita ditakdirkan ketemu. Kita ditakdirkan juga kelak, atau sekarang untuk berpisah. Kita hanya membawa kesan-kesan dalam ingatan yang terbatas. Selebihnya kita kembali tenggelam pada kesibukan masing-masing, melupakan semua kisah kemarin. Begitulah warna dan pernak-pernik kehidupan, sebelum mati. Tapi aku memang tak ingin lagi menggodamu dengan mengirim sms puitis, percuma. Kadang terbersit pikiran aku akan membuat jarak yang lebar tapi hanya menunggu kau serang, wahai perempuan karir. Kejarlah daku nanti kau akan kupeluk. Kejarlah daku, kau kutangkap. Jasa dan pertolonganku di saat kamu berperkara tak sebanding dengan apa yang kupikirkan selama itu. Ada pepatah memang, habis manis sepah dibuang. Tapi ternyata aku bukan tebu. Sepah jangan dibuang sebab masih berguna. Tak ada yang terbuang, sayang. Aku menunggu di sini bersama kata.
“Halo, selamat pagi Nias Sauna. Ya, betul, pak, di sini memang tempatnya. Apa? Pijat plus-plus? Burung sampean mati? Diamer saja, pak. Atau jepitkan lawang!”, brak, telepon dibanting sambil menggerutu.
Akhirnya aku tahu persis, bahwa ini adalah perjumpaan biasa yang tak ada imbas apa-apa. Tak boleh ada rencana atau keinginan lain ke depan yang luar biasa. Hubungan itu telah berakhir sampai di sini. Hanya sebuah pertemuan yang secara kebetulan kelewat intens, kelewat lekat yang menciptakan nuansa-nuansa romantik yang nonsens. Secara ekonomis, aku jadi malu dan terhina. Harga diriku harus ditempatkan dimana? Harga diri yang masih kumiliki dan seyogianya tak digadaikan oleh keinginan materi. Masalah ini sungguh sensitif, aku seperti jadi binatang pungguk yang merindukan bulan.
Kita tak lagi bisa bicara atas nama cinta. Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Dan, tentu saja, tak ada yang harus ditangisi. Bagaimana pun aku masih bisa tersenyum karena punya waktu bersamamu justru disaat kamu mengalami masalah. Selain itu memang tak ada. Jadi, masalahnya, prestasi apa yang bisa aku dapat untuk mengangkat martabatku di matanya? Barangkali hanya sebuah sikap yang masih mau mendengarkan dan mau menolong jika aku masih dibutuhkan.
Tapi kayaknya dia sudah tak lagi membutuhkan aku. Terima kasih, selamat jalan, semoga senantiasa tenang dalam bekerja dan tetap keras menuntut! Itu yang belum tercapai, bukan? Atas nama harga diri sebagai yang sekaligus pengusaha. Kamu orang Jember dengan karakter dan eksen bicara orang Madura. “Suaramu yang melankoli itu mengalir deras, sungguh tipikal orang pekerja, tapi kadang sedikit dihiasi dengan senyum palsu”,
Dari sini bisa ditarik benang merah, bahwa kehidupan itu sungguh unik dan sering tak terduga. Aku ingin mendapat inspirasi pemaknaan untuk sebuah tatapan mata. Kita sudah berumur, kayaknya gak pantas dech melulu bicara soal itu, katamu, dalam sms. Mungkin kamu sudah bisa meraba tanda-tanda yang begitu membanjir dalam pesan singkatku yang masuk di telepon selulermu itu. Pesawat terbang yang nggak bisa mendarat.
Minimal aku kembali pada garis awal, kebiasaanku menulis yang lama terbengkalai. Inspirasi demi inspirasi yang mengusung penciptaan baru sambil mengungkai kedalamannya. Masih laku, ada yang mau baca? Manusia itu fenomenal. Seperti kemarin, misalnya, banyak peristiwa yang perlu diabadikan. Tapi banyak orang yang malas mengabadikannya. Ani Indrijani tak punya pikiran mau jadi tokoh perempuan yang mengusung multikulturalisme, misalnya. Aku tahu ia tak tahu apa-apa selain pekerjaannya sebagai pengacara. Tak semua orang akan jadi mulia, memang.
Aku menempuh lima belas kilometer yang terus menerus dibelakang tangki bensin enam belas ribu liter. Dari Banyuwangi ke Rogojampi. Seperti spionase yang membuntuti tersangka narkoba. Aku bayangkan truk tangki yang membawa bensin sebanyak itu meledak. Gudang peluru di Cilandak, Jakarta, meledak. Kalau gak keberatan, aku mau cerita sedikit tentang masa laluku di sini.
1986. Dari Pondok Labu, suara ledakan itu terdengar keras sekali. Kalau tidak salah, ketika itu aku sedang menulis. Aku ingat ketika itu aku baru sampai rumah di Pondok Labu, Jakarta Selatan, dari Perpustakaan Nasional bersama Rita, gadis kampung di sana yang mengajak aku jalan-jalan pagi. Tapi yang mengesankan ketika di rumah Rita, orang tuanya yang logat Betawi itu menerimaku dengan ramah sekali. Aku disuguhi kopi yang rasanya nikmat sekali, masih melekat sampai sekarang. Sampai pulang di Banyuwangi aku masih menyimpan foto gadis manis yang baru lulus SMA itu. Tentu saja sekarang foto sudah hilang gak tahu dimana. Gadis metropolitan yang pernah merengek minta aku mengajaknya ke Banyuwangi, tapi kutolak secara halus. DI Jakarta ini aku bekerja. Pulang kampung karena aku rindu pada ibuku, dan tidak mau bikin masalah. Sebab di Banyuwangi aku punya pacar setia.
Bayangkan saja: dulu aku adalah pemuda tampan, mantan aktivis ketika aku kuliah di Yogyakarta. Meski aku kuliah tak sampai tamat, di Yogya aku ikut perkumpulan teater pimpinan Emha Ainun Nadjib, Teater Dinasti namanya. Sejak kelas satu SMA aku sudah di Yogyakarta. Di Malioboro, aku baca puisi, dibimbing penyair misterius Umbu Landu Paranggi. Awalnya aku senang sastra hanya sepintas lalu. Keinginanku menulis novel tebal baru separuh jalan, kalau tak salah sudah enam ratusan halaman, targetnya ribuan halaman.
Mungkin aku sudah kenyang pengalaman. Sejak awal aku tahu bahwa kehidupan ini penuh fenomena. Satu dunia yang dipahami oleh banyak orang, termasuk aku. Ribuan pengertian atas satu dunia. Umar kayam sudah meninggal, demikian pula Romo Mangun yang sering kusinggahi tempatnya di Kali Code. Sebagai anak kost, aku hanya kelayapan di Shoping Center mencari buku loakan. Kebanyakan aku tertarik pada novel dan buku-buku filsafat. Kelas satu SMA aku sudah melahap Karl Max, buku langka yang dilarang waktu itu. Tiap malam ikut ngobrol dengan para seniman dan mahasiswa di Jalan Malioboro. Mbok Yum, aku masih ingat, adalah penjual nasi gudeg di emperan Malioboro yang terenak di dunia (minjam istilah Pak Wi). Entah kenapa Mbok Yum seperti ibuku sendiri. Aku, astaga, nggak tahu kepanjangan nama itu. Mungkin Yuminah, Yuminten atau siapa. Yang kutahu persis dia berasal dari Bantul. Dari jualan gudeg dia bisa menyekolahkan anak laki-lakinya, sampai kuliah di UGM. Anaknya diterima di Universitas ternama itu, sementara aku hanya diterima di UII. Sejak tahun 60-an, katanya, dia sudah jualan gudeg di situ. Anaknya sepantaran denganku, dua tahun lebih tua dariku, namanya Warso.
Mbok Yum selalu tahu kalau aku belum makan dan wesel dari Banyuwangi belum datang. Kini aku menyesal, sebagai pelajar, disana hidupku terlalu urakan dan boros. Mungkin terpengaruh gaya WS Rendra yang waktu itu jadi idola anak muda. Bersama Bengkel Teater Rendra, aku ikut partisipasi di Parangtritis. Wesel yang mestinya sangat cukup untuk sebulan sering habis dipertengahan bulan.
Aku juga sering bermalam di Kaliurang, daerah dingin di lereng Gunung Merapi dengan teman-teman pecinta alam. Aku punya peralatan camping yang lengkap, yang kubeli dengan harga yang mahal. Kebetulan, usaha orang tuaku lagi jaya-jayanya. Pernah, waktu liburan panjang lebaran aku tidak pulang, justru nginap di rumah teman yang tempatnya terpencil pelosok desa dekat candi Borobudur, Magelang. Aduh, aku lupa nama desa itu. Tentu saja waktu itu tidak bisa sms ke orang tuaku, belum ada telepon seluler seperti sekarang. Malam lebaran, tak ada bulan di atas kuburan. Mendengar suara takbir, aku meneteskan air mata.
Ribuan puisi telah kutulis, hanya beberapa yang diterbitkan. Aku tak tahu apa maksud dari informasi ini. Barangkali hanya sebentuk kegemaran menulis yang nanggung. Kadang aku keras kepala yang sekaligus pemalas. Kadang aku bisa bercermin pada masa mudaku dulu sekaligus mengabaikannya. Sebab kini aku toh, kadang, masih menggebu melihat masa depan. Masih ada banyak waktu untuk merenung dan berproses kreatif. Masa depan yang juga penuh fenomena, sebab di sini dan sekarang, aku tengah melanjutkan kebiasaan lama, yakni mencoba membaca dunia kecilku ini. Tak ada yang harus dirahasiakan. Kadang aku tidak menempatkan diri sebagai Fatah Yasin Noor. Setelah titik, aku bisa melanjutkan ke titik berikutnya.
Aku malu untuk sekadar mengirim sms padamu. Aku tak akan lagi menulis seperti yang sudah-sudah. Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk melupakanmu, kembali pada kehidupanku semula. Yakni sebagai Fatah yang akhir-akhir ini ngebut mempelajari masalah hukum. Sebab menulis puisi bukanlah sebuah pelarian yang terindah. Ia hanya baik untuk sebuah penciptaan maha karya atas nama rasionalitas, komitmen, dengan elan kreatif yang konsisten. Sudah sepantasnya penyair harus menderita lahir dan batin. Chairil Anwar di usia 17 tahun sudah melambung jadi penyair dunia, dikenal sebagai penyair binatang jalang, mati karena penyakit sipilis. Tapi di Jember, ada Dwi Pranoto, sahabat karibku, pengarang yang juga penerjemah, tinggal di Perumahan Mastrip bersama istri dan seorang anak. Istrinya dosen Fakultas Kedokteran Unej, orang batak kristen yang suka empek-empek bikinanku. Masalahnya, aku sekarang mungkin lagi stress yang tidak kentara. Kalau tak banyak kesibukan di Banyuwangi, aku ingin istirahat di Jember, cangkrukan kembali dengan teman-teman di Tegalboto, bikin film indie, menggagas pementasan teater. Ah, keinginan yang terus tertunda. Kadang aku kangen jadi gelandangan lagi di TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta. Tapi kata Nirwan Dewanto, TIM sekarang sudah nggak kondusif seperti dulu.
Kadang aku menulis ini hanya sekadar menulis, untuk seseorang yang belum tentu mau membacanya. Atau ini kepersembahkan untuk ibu dan bapakku di sana? Tampaknya hubungan kita memang semakin hambar. Mestinya ada yang bisa menggaraminya.
Aku merasa banyak bersalah pada orang tuaku. Mereka adalah pasangan suami istri yang tiada taranya. Bukan kepada cinta yang rumit, namun untuk sebuah kasih sayang yang sederhana tapi sungguh sangat menyentuh. Seperti halnya aku sangat menyayangi kedua anakku. Dengan segala ketakberdayaan dan kemampuanku. Aku bayangkan kedua orang tuaku yang selama hidupnya tak pernah meninggalkan salat itu kini tidur tenang di alam baka. Ada kesedihan di wajah mereka saat membaca nasibku. Kelahiran yang diharapkan dan yang didambakan sekaligus membuahkan keprihatinan. Ada garis nasib yang menyedihkan, gitu loh. Kini aku hanya bisa berdoa untuknya.
Tapi masih ada akhlak yang baik, sebagai bekal perjalanan hidup di dunia ini, bukan? Kini kita bertanya, disebelah mana tempat kita di dunia? Dari miliaran manusia dan di bumi yang semakin tua ini. Kata salam dan maaf terus mengiringi langkahku bersama nama seseorang, sejenis perempuan yang punya tipikal keras kepala. Tapi syukurlah, dia sendiri tak menyadarinya, namun banyak yang tahu.
Seperti semua saudaraku yang tak banyak tahu dengan duniaku. Sebuah keluarga besar yang ditakdirkan senantiasa menjaga martabatnya sebagai keturunan darah biru dari nenek moyang yang luhur. Kemarin, sepupuku di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin III yang juga Jenderal Polisi yang masih dinas di Polda Sumsel itu menelponku, menanyakan soal kuburan! Makam keluarga Palembang di Banyuwangi pagarnya apa sudah dipugar, tanyanya. Aku bilang saja terus terang belum, masih dalam rencana.
Tapi aku tak begitu membanggakannya. Darah biru yang mengalir dalam tubuhku? Iiiiih, lucu. Kakak perempuanku tahun ini akan naik haji lagi. Untuk ibuku yang tak sempat naik haji, katanya. Untuk yang satu ini aku menahan haru. Padahal kakaku sudah pernah pergi ke Mekkah. Nanti ketika saat ia berangkat, akan aku goda. Aku minta didoakan di depan ka’bah agar cepat dapat jodoh yang cocok, perempuan yang tidak selingkuh, seorang lowyer, mungkin.
Jangan menangis. Tapi sesali mana yang mesti kau sesali. Apa yang bisa kita bantu untuk kebaikan sesama. Di mataku, engkau tak pernah salah. Aku hanya ingin sebuah penghargaan yang sederhana, sebuah ketulusan yang juga sederhana. Dari tatapan mata yang sederhana, juga cinta yang sederhana. Dan lihatlah, aku begitu nyinyir, terlalu jauh ikut campur segala urusanmu. Untuk itulah aku sungguh menyesal, seperti tak tertebus hanya dengan kata maaf. Kini aku hanya menunggu kabar darimu. Siapa tahu suatu saat nanti engkau menelponku kembali.
Hanya itu. Celakanya perempuan itu hidup dalam situasi yang jauh dari rasa tenang. Tentu saja aku tidak mengharapkan dia mati. Kalau dia mati, mungkin aku merasa kehilangan dan mungkin, patah hati. Pada dasarnya dia adalah perempuan yang baik. Ani, katanya, saat pertama kali kami bertemu di rumah Pak Wiyono. Dia melungsurkan tangannya yang halus terawat dengan ekspresi tegang dan kalut. Mungkin kamu sekarang sibuk membereskan pekerjaan, dan berpikir bagaimana cara menaklukkan sang peneror. Sampai hari ini, engkau masih terus dibayang-bayangi perkara itu. Akhirnya aku tidak bisa menolongmu sedikit pun.
Mungkin sekarang aku lagi klangenan dengan rasa yang lain. Dan mungkin ini sebentuk narasi maluku yang paling dalam. Waktu itu, terlalu lancang aku bicara, terlalu vulgar aku menyatakan perasaanku padamu. Tentu saja aku malu, ya Allah, kenapa aku tak bisa mengendalikan diri. Sekarang aku kau buat tak berdaya. Padahal aku sekarang tak muda lagi. Rasanya sungguh menggelikan, ditambah lagi kini aku tak becus menulis. Selalu tersendat dalam menyalurkan isi hati.
Mana mungkin engkau tengah berbunga-bunga hati sepertiku saat ini. Mana mungkin disaat usahamu di Banyuwangi tengah diganggu seseorang, digoyang sedemikian rupa yang akhirnya banyak melibatkan institusi. Sejak awal aku diminta mendampingimu, dan aku pun ikhlas. Kau ajak aku kesana-kemari dengan mobil sedan warna hitam metalik itu. Disela-sela kesibukan itu kau sempat menyarankan banyak makan agar tubuhku mencapai bobot yang ideal, biar lebih cakep, katamu. Aku merasa tersanjung atas perhatian itu. Diri yang semula tak ada yang memperhatikan. Diri yang sejak lama tak pernah sedekat ini dengan perempuan.
Ah, sudahlah. Kayaknya kisah hari-hari indah bersamamu sudah berakhir. Sementara itu sejumlah perkara sengketa tanah dan upaya pengusiran itu belum selesai. Pak Wi sendiri terkesan adem ayem, tak bernapsu perkaranya ini cepat selesai. Apa boleh buat. Akibat tak punya dana membuat segala perkara jadi terbengkalai. Penampilan jadi kurang menarik lantaran memakai baju murahan. Maka aku, mau tak mau, hanya bisa semadi dalam kata. Bersama Tuhan yang telah menggariskan takdir dan nasib semua manusia. Barangkali aku bisa menikmati kesedihan seperti ini: duduk melamun di depan monitor kumputer sambil mengingat kenangan kita itu. Tak lebih.
Mencoba membuat sikap-sikap kearifan baru dengan kesabaran dan berserah diri. Terus-menerus mengingat kemurahan Allah, bahwa setiap insan masih diberi getaran cinta yang bisa menggoyahkan alam semesta. Sebuah jeritan pilu atas kesepian yang menusuk langit. Sebuah takdir, bahwa kita dipertemukan. Sebuah pertemuan yang berakibat fatal atas nama hubungan antar-manusia. Kita menjadi egois karena itu bukan rasa cinta yang asli. Hanya adegan percintaan yang main-main saja, atas nama kesepian yang naluriah. Bukan kesedihan yang benar-benar sedih. Tapi hanya lantaran sebuah keinginan yang tidak tercapai, yang bahwasannya itu bisa mendatangkan banyak masalah akibat trauma masa lalu?
Hari ini, pendirianku masih tetap, bahwa aku tengah meredam segala keinginan untuk bertemu denganmu. Tak boleh lagi keluar kata-kata yang menunjukkan perasaan kangen. Sebab ada yang bilang itu sungguh naif. Butir-butir kenangan telah disapu angin. Langit akan terus tersenyum, menyediakan kenangan baru. Aku pikir kelak kau pun akan menemukan cinta yang asli. Saat Tuhan secara perlahan turun diam-diam kedalam hatimu. Memberi warna indah yang syahdu, yang bisa melambungkanmu pada cakrawala. Sungguh, kita akan mengukir kehidupan ini dengan takjim.
Akan ada kasih sayang yang asli, walau aku sekarang tak lagi bisa menyentuhmu. Engkau perempuan sibuk, sementara aku banyak nganggurnya. Aku mencintai manusia hanya sebatas mencintai, hanya sebagai sesama hamba Tuhan yang lemah. Sebuah cinta yang tidak berlebihan. Hanya rasa kasih sayang yang wajar. Dan doaku hari ini agar engkau pun mendapat kebahagiaan, ketenangan, dan kemurnian hati. Sebentuk ketentraman hidup yang sederhana, yang tidak neko-neko, yang tidak silau dengan gemerlapnya dunia.
Tapi di Hotel Mirah, pada suatu hari, aku telah dijadikan kelinci percobaan. Atas nama profesionalisme, atau untuk alasan yang lain, aku tak tahu. Aku dikerubut tiga perempuan untuk dimassage, dipijat, dan aku diminta melucuti pakaian yang kupakai. Celakanya aku mau-mau saja, karena dipijit itu enak, badan jadi segar dan stress hilang. Mereka mijat tidak asal mijat, tentunya. Ada teori anatomi tubuh, titik-titik atau pusat syaraf mana yang jika dipijit badan yang semula kaku, capek, jadi segar, fress.
Kadang membosankan juga ketika aku mencoba sekadar merumuskan kepribadianmu yang sangat realistis pragmatis ini. Ketegaran yang sungguh keras kepala. Ini tulisan yang sungguh menjemukan. Maka aku tandai saja hal itu sebagai kasih sayang yang lain, yang tidak umum, yang tidak biasa, sedikit menyimpang dari kodrat manusia seutuhnya. Masih soal seolah-olah kita akan hidup seribu tahun lagi. Selalu sibuk dengan perkara penghidupan. Mottonya ialah demi kesejahteraan sesama, membuka lapangan kerja baru, memberantas kemiskinan. Nama lengkapnya Ani Indrijani, SH, MH.
Mungkin kekuatan cinta itu ada batasnya. Suatu saat ia akan mencair, kita tak lagi begitu mengagungkannya. Ada realitas yang memungkinkan kita terus menanggapi kasih sayang dalam pemahaman yang dangkal. Celakanya, kita masih bisa menangis oleh kesulitan hidup yang menimpa diri sendiri. Semoga dugaanku keliru. Bagi mereka yang kurang berpikir, mencoba merumuskan pelbagai hal itu adalah upaya yang membosankan. Begitulah. Artinya, aku pun memaksakan diri membuat risalah yang tampak percuma ini. Begitulah. Hari hari yang tampak kosong hanya menciptakan perasaan yang tertekan. Apa yang kamu pikirkan di Jumat ini, sayang? Masih adakah gairah yang turun di bawah pusar? Cinta kasih yang bagaimana? Itu kan cuma napsu?! Hujan-hujan begini kita hanya berdiam di dalam rumah. Lihatlah adegan senggama di film itu. Semuanya vulgar, norak dan memuakkan. Kita hanya sebagai penonton, ya kadang sangat terangsang oleh adegan itu. Justru membuat pikiran kita kacau. Menjadi tidak asli. Bahwa hubungan seks dengan berbagai posisi, yang memakai obat kuat, yang akhirnya juga orgasme. Setelah itu apa? Hanya capek dan pikiran semakin tidak tenang.
Kamu sudah jauh meninggalkan orang-orang terkasih. Memasuki ceruk dunia yang tak pernah selesai ini. Ternyata tubuhmu masih seperti setengah matang. Buah dadamu, maaf, masih asli, seperti manuk nginguk disela ketat behamu. Aku menahan dahaga. Mungkin aku dapat ilham dari buah dadamu itu. Meletakkannya di meja makan. Masih tak kulihat maghrib dalam matamu. Kesaksian diberikan sebotol madu dan susu murni. Kau kutelanjangi, sehingga tampak semua kebohonganmu.
Aku tak menjawab pertanyaanmu yang berbau pancingan itu. Aku bukan ikan yang rakus memakan umpanmu. Seyogianya aku menahan diri dari rasa dahaga. Lebih baik masuk dalam lingkaran kata-katamu. Ketika engkau membayangkan akan ada seseorang yang akan menolongmu dengan tulus. Sudahlah, tak perlu ngotot. Memang ada yang lemah dan mustahil.
Harapanku hanya ada dalam kata-kata yang tampak indah. Tak usai-usai memproduksi kata-kata kosong. Perempuan yang selalu kuingat itu masih akan menyelesaikan perkaranya. Engkau sering berandai-andai suatu saat akan datang sebuah keajaiban. Saat kesadaranku tumbuh, ternyata itu adalah realitas semu yang mengerikan.
Secercah kenikmatan ditengah kesulitan menghadapi sejumlah pekerjaan dan perkara pribadi. Jadi di dunia ini memang ada perempuan bernama Ani Indrijani, yang kadang belum masuk kreteria tokoh perempuan yang punya pemikiran menonjol. Laki-laki siapa pun yang mau menikah dengannya harus bersiap diri untuk, suatu saat, merelakan perceraiannya. Sebenarnya, apa yang dia perjuangkan belum jelas benar. Oleh sebab itu peranku dalam kehidupannya hanyalah sebatas penggoda ulung yang mencoba membedah pandangannya. Tak lebih. Sedikit banyak aku telah tahu karakternya, sifat-sifatnya.
Hujan deras datang. Tuhan menjauh atau mendekat, aku tak tahu. Pertikaian kita belum berakhir. Kita saling merasa benar dan tak bersalah. Apa boleh buat. Harus ada perbincangan dari hati ke hati, mungkin. Apa gunanya? Ada jurang menganga. Lupakanlah gelinjang syahwat yang pernah kita rasakan kemarin. Engkau perempuan dan aku laki-laki. Gelinjang syahwat yang membawa nikmat disekujur tubuhku. Kita tak pernah selingkuh, apalagi berkencan. Kita tak pernah bercinta. Kelak kau akan lelah sendiri. Sekarang kehidupan masih terasa hampa, bukan?
Ada waktu yang tak bisa diundur ke belakang, memang. Ada kenikmatan hidup yang kita rasakan setiap hari. Kenikmatan kita masing-masing yang tak sama. Engkau bekerja untuk penghidupan, aku pun demikian. Dan Tuhan Maha Pemurah, bukan? Kita terus menikmati kemurahan itu. Kemurahan yang tak sebanding dengan amal baik kita sehari-hari. Waktu kita maknai sebagai keinsyafan hidup, bahwa kita tak akan selamanya begini. Pada saatnya kita harus menyerah. Membawa cacatan harian yang perih. Amal baik yang tidak seberapa, rasa pesimis yang berlebihan, dan sebagainya dan sebagainya. Rasanya memang tidak mungkin.
Barangkali keinginanku ini adalah bisikan setan. Merindukan kesenangan lahiriyah yang sekaligus kebahagiaan. Seolah-olah aku sekarang tak lagi diliputi oleh kebahagiaan. Kita selalu melawan kejenuhan dan kebosanan itu. Memiliki sifat-sifat yang kurang terpuji, barangkali. Sifat yang mudah menyerah, kurang percaya diri bahwa segala sesuatu itu habis dan tamat tergantung pada Yang Maha Tahu. Tak ada lagi peluang dan celah-celah sempit yang masih bisa dimasuki. Masih ada setan walau kita tak melihatnya. Tak ada yang bisa orgasme dengan cara menuliskan nama perempuan cantik wangi dan membayangkan kita bersetubuh dengannya. Tapi rasakan mana yang mesti kamu rasakan.
Kata ibuku, saat aku lahir di dunia ini, jeritan tangisku sungguh kuat sekali. Aku menjerit dalam tangis kesedihan yang masih belum aku pahami. Ternyatalah kehidupan ini memang mengerikan dan kadang sangat menyedihkan. Dan aku tak tahu apakah aku sungguh sangat mencintaimu, sayang. Aku tak ingin, siapapun orangnya juga tak ingin hatinya terluka. Dalam sisa hidupku ini, aduh, aku ingin berbakti pada seseorang, ingin mencintai secara tulus seperti cintaku pada kedua orangtuaku. Tapi sungguh mengharukan, ada pengalaman pahit yang membuat kita menangis. Mungkin aku mencintainya, merasa tenang di sisinya.
Tentu saja hidup kita dalam genggaman-Nya. Kita tawakal pada takdir-Nya. Tumbuh cinta yang asli. Kamu gak usah egois yang mengingankan cintaku seutuhnya untukmu. Pada dasarnya kamu tidak sendirian. Justru aku yang kadang merasa sendirian. Walau pada dasarnya kita tidak sendirian. Ada Tuhan bersama kita. Itu pasti. Sesama manusia boleh ada perjumpaan dan perpisahan. Ingat, akan ada perjumpaan dan perpisahan. Lalu ada yang menjalin hubungan emosional. Menciptakan kesan-kesan tertentu pada masing-masing individu. Kita hanya memeluk kesedihan masing-masing yang rahasia. Aku tak tahu kesedihan yang bagaimana yang tengah kamu rasakan.
Ah, kenapa pikiran bisa kacau seperti ini. Bisa bingung seperti ini. Hati yang tiba-tiba gelisah. Perasaan yang tiba-tiba tidak tenang. Seperti selalu dipeluk sesuatu yang menyedihkan. Karena membayangkan sesuatu yang indah? Atau kita teramat banyak membaca novel pop? Mengunyah puisi-puisi Chairil misalnya, yang membicarakan soal cinta? Itu sebuah nasib yang tragis. Orang bisa nelangsa hanya gara-gara cinta dan kangen?
Ani Indrijani, SH., MH. Hidup adalah sebuah pengalaman perih yang nikmat. Karena sedikit banyak aku terlanjur telah mengenalmu. Engkau adalah perempuan asli seperti perempuan pada umumnya, konon cuma punya satu anak perempuan dan pernah punya suami yang juga pengacara. Ini adalah kurikulum fitae yang kurang ideal, mungkin. Perceraian yang nyaris disyukuri, dan tanpa beban. Seringnya aku mengingatmu adalah sebuah beban. Walau itu beban yang tak terlalu berat, tak seberapa, tapi telah menjadi bahan untuk mengungkai sebuah kejujuran. Aku bisa membayangkan yang mungkin kelak akan terjadi. Membayangkan juga yang mustahil terjadi.
Pernikahan bukanlah segalanya. Untuk apa menikah kalau akan menambah beban dan masalah. Apakah engkau pantas dicintai sepenuh hati apa tidak, aku tak tahu. Aku pikir itu tergantung pada dirimu sendiri. Kadang aku pikir engkau perempuan yang punya dendam sangat berlebihan. Antara suka dan benci saling berpindah tempat. Tentu saja engkau tak mungkin membenciku, karena aku telah sering membantumu, mendampingimu disaat kamu susah. Maka, kelak kecantikanmu akan cepat digerogoti oleh banyak perkara. Kayaknya kamu tak menyadari itu? Kata Fatrah Abal, mau tidak mau kita pasrah dan tawakal. Inilah celakanya kita hidup di dunia. Aku telah menulis (bekerja) dengan keras. Aku pun sering berzikir dengan khusuk. Kita hanya dikalahkan oleh waktu.
Musik itu terus mengalun. Dalam hati kuucapkan selamat pagi padamu. Semoga di hari libur ini engkau baik-baik saja. Sebenarnyalah aku kangen padamu. Sepertinya tak ada yang lebih kukangeni selain kamu. Ini aneh. Seperti ada sesuatu yang hilang. Kesendirian seperti hantu yang mencekik. Aku tahu engkau sekarang ada di sana, tidak di sini. Aku tahu apa yang tengah kau pikirkan di sana.
Kita akan membela yang benar, bukan membela yang banyak uangnya. Pengacara, ternyata, ada juga yang hidupnya pas-pasan. Tapi Ani Indrijani, SH., MH punya sedan dan usaha spa-sauna di pelbagai tempat. Jurang antara yang kaya dan yang miskin telah ditumbuhi lumut. Aku kadang merayap turun dari tebingnya yang licin itu. Jurang yang didalamnya bersemayam ular dan kalajengking. Mereka yang miskin tidak bisa menyeberang ke wilayah orang kaya, karena ada jurang menganga lebar. Tak ada jembatan di situ. Mungkin hanya seutas tali rapuh. Mungkin aku perlu sayap, hingga bisa terbang memelukmu. Ah, seandainya aku juga kaya…
Kesedihan yang bagaimana lagi, ketika anak-anakmu menangis lapar dan kau tak berdaya memberinya makan. Anakmu tidur pulas setelah seharian tadi bermain dan tertawa-tawa. Keharuan yang bagaimana lagi, melihat mereka begitu murni dan asli saat menangis dan tertawa itu. Aku akan terus mendampingimu, nak, sampai kau dewasa, sampai kau bisa berpikir dan mencerna arti kehidupan ini yang sesungguhnya. Aku tak tega membangunkannya.
Sudahlah, terima saja dengan berserah diri pada-Nya. Mungkin itu lebih baik sembari terus mengucurkan air mata. Kita sedih bukan berarti tak tahu diri dan kurang bersyukur atas rahmat-Nya. Kesedihan memang ada dimana-mana. Kelaparan hanyalah masalah rasa. Kadang suatu saat memang, tidak setiap hari, kita dipeluk keharuan yang sangat. Tapi setiap detik jiwa kita selalu berubah, khan?
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Demikian kata pepatah ngawur itu. Setiap detik jiwaku berubah. Secara biologis, kau masih menggairahkan. Karena engkau pandai merawat tubuh dan penampilan. Ada tatto di kakimu. Tentu hasil karya masa lalu yang indah. Mudah-mudahan kamu baik-baik saja sejak kita jarang ketemu. Masih ada harapan atas nama waktu dan kesempatan? Siapa yang tak lagi punya harapan?
Konsentrasiku tak ingin terpecah dari urusan kemanusiaan. Istilah kerennya, aku ingin mengabdi untuk nusa dan bangsa. Orang gak boleh seenaknya mempermainkan hukum. Harus ada yang idealis, tidak menghalalkan segala cara. Hidup ini penuh tantangan, memang. Dengarkan lirik lagu itu: “jadikan aku yang kedua. Buatlah diriku bahagia…”.
Masalahnya sekarang, aku adalah buah yang matang dan enak dimakan. Banyak kaum Hawa yang bernapsu ingin memakan, minimal mencicipi rasa buahku. Aku lahir dari sebuah pohon yang besar dan rimbun. Tapi kenyataannya, kaum Adam itu pada dasarnya lebih lemah dari kaum Hawa. Aku sudah terlanjur disunat, konon mengikuti tradisi Timur Tengah. Penyakit kelamin, sementara itu, kini merajalela. Kadang kita jadi malu sendiri bisa dibuat merana oleh kaum Hawa. Kok bisa-bisanya sich…
Dia bilang laki-laki tak bisa tahan dengan kesendirian. Sementara itu perempuan lebih bisa tahan dengan menjanda, misalnya. Hari ini aku justru merasa bahagia dengan kesendirian. Itu masalahnya, sebuah pendapat pastilah suatu saat kelihatan bohongnya.
Sementara itu aku adalah manusia biasa. Menyadari sebagai manusia yang benar-benar biasa. Manusia pada umumnya. Walau aku dikaruniai ciri khas dan postur tubuh yang tak ada duanya. Makhluk Adam yang sudah sangat matang. Yang kadang sangat licik untuk meladeni kebuasan kaum Hawa. Aku punya semacam kiat atau seni bagaimana memperlakukan logika perempuan yang kadang sering terjebak gulita rahasianya. Aku telah pernah membaca buku Kamasutra.
Kalau sudah demikian, hidup ini kayaknya sangat sepele ya?! Ternyata kita hanya menjalani saja, tak lebih. Tapi celakanya, banyak orang yang berbuat neka-neko. Terserah. Karena masalah keyakinan itu penting. Mustahil orang hidup tak punya keyakinan. Mustahil Tuhan diam saja melihat orang yang suka menganiaya dirinya sendiri. Akan ada pengampunan, sebab diakherat itu abadi. Karena di dunia ini fana. Karena tidak abadi, maka ada sejarah di dunia. Kita membuat sejarah hanya di dunia. Maka di dunialah ada dunia jungkir balik. Di dekat mayat Yohanes ditemukan banyak botol-botol minuman keras. Orang bisa mati karena kebanyakan minum. Aku sekarang berhenti minum.
Jadi, aku seorang pengarang? Aku tahu kamu tak bisa berharap banyak dengan profesiku itu. Celakanya aku ditakdirkan kenal kamu. Maka gairah hidupku secara perlahan, seperti menggeliat. Dulu yang hanya berangkat dari bar, kafe, dan warung remang-remang. Untuk yang satu ini aku terkapar kesepian. Syaraf khayalku masih mempertimbangkan bagaimana cara kamu mengunduh gairah. Masa depan adalah penantian ke surga, atau ke neraka? Tapi aku tak lagi membuat pernyataan nyinyir untukmu. Aku tahu geliat gairah itu sudah ada sejak nabi Adam. Di dunia ini telah dipenuhi bau cinta yang anyir. Apa yang aku alami tentu gak sama dengan apa-apa yang kamu rasakan. Rasa sensitifku mungkin melebihi perasaan perempuan pada umumnya. Barangkali, siapa tahu.
Kadang aku tak ingin ikut pada gerbong birahi yang tak ada ujungnya itu. Ada senja dipelupuk mata. Celakanya aku belum begitu tua. Ada kuda yang masih meringkik di luar kandang. Ada gunung tumpangpitu yang menyimpan emas, cocok dijadikan kalung di jenjang lehermu. Kupingmu kupasangi giwang, konon untuk meredam napsu birahi. Agar kuda liar dalam kelaminmu tak meringkik tajam. Mungkin kelak kita tak bisa lagi mendaki gunung itu. Hamparan pulau merah dan teluk hijau yang rawan bencana. Kadang aku berkhayal juga menunggu celotehmu yang mengandung nada mesum itu. Kemudian kita menuju ranjang yang melirik tak sabar. Musim telah mengawinkan buah rambutan dan duren.
Lihatlah, kata-kataku selalu jatuh pada gairah musim. Kadang, secara samar, bentuk pantatmu tergambar di tanah basah sehabis hujan. Tak sengaja aku menginjaknya. Aku merasa bersalah. Padahal libur panjang yang kita impikan masih jauh. Kita masih tak bisa kemana-mana. Kawanku yang tinggal di Jember terus memanggil-manggil. Aku kagum, engkau masih punya orientasi ke depan. Sekali-sekali saja aku datang ke Nias, cuma melihat situasi di sana dan mandi gratis. Sebelum ketemu kamu, penampilanku memang gak pernah terurus. Aku paling susah diajak makan. Seandainya hidup ini gak perlu makan, aku sangat bahagia.
Celakanya, kau acapkali memakai intuisi, terlalu banyak merasakan khayal seni yang indah untuk sesuatu yang nonsens. Itu dulu. Sekarang aku tak bikin puisi lagi. Termasuk, dalam hal ini, khayal romantik seks. Kadang kesendirian adalah awal dari sebuah kecelakaan sepi. Kita merasakan sesuatu yang entah. Rasanya sulit keluar secara leluasa, membebaskan diri dari belenggu itu. Sesekali tumbuh gairah yang membuat aku dahaga dalam gulita. Tapi membayangkan janda adalah kecelakaan itu sendiri. Janda yang masih bisa memilih, walau entah kapan dia akan memilih. Dia sering bilang rindu pada laki-laki setia, yang kaya, yang sepadan dengan status dan derajatnya. Okelah, silahkan bentuk panitia seleksi!
Rasanya aku tak akan puas dengan ungkapan ini: tulisan yang menggeremeng sendiri nyaris sebagai ahasveros. Ingin puitis sepuitis penampakanmu yang penuh metafora itu. Aku ingin tulisan ini, walau carut marut, kau baca dengan tumak ninah. Ketahuilah, apa yang kutulis ini adalah representasi dari jiwaku yang paling tersembunyi. Aku malas memeriksanya kembali. Apa yang terlanjur kunyatakan biarlah begitu. Inilah kebiasaan burukku yang paling parah: malas untuk mengubah-ubah tulisan yang sudah ditulis.
Andai kita sepakat menikah, apa pun risikonya kita tanggung bersama. Itu belum tentu baik bagiku. Kayaknya sudah tak ada lagi tanda-tanda cinta dalam dirimu untukku? Padahal, aku rela menghapus bekas bibirnya di bibirmu dengan bibirku. Ini sebuah perasaan yang rumit. Campuran antara fakta dan fiksi. Bahwa aku yang menduda dan kamu yang menjanda, ada peluang sekaligus hambatannya. Seandainya kamu mau toh aku belum tentu mau. Demikian pula sebaliknya. Aku laki-laki dan dia perempuan yang hidup di bumi realitas kekinian yang telah menyimpan peradaban panjang. Tapi kata Gombal eh Gomloh maksudku, bila cinta sudah melekat tai kucing rasa coklat. Boleh saja kau anggap aku ini tai.
Kenyataannya, aku telah mengolah sebuah bahan yang masih setengah matang, yang disana-sini tak utuh lagi. Tapi aku sempurna saat bisa membaca hatiku padamu. Mungkin mereka iri bagaimana mungkin kita bisa punya cerita unik yang belum ada sebelumnya di seluruh dunia. Sesuatu yang tumbuh dari tepung tapioka dan ikan laut. Kamu tumbuh dari penanganan sejumlah perkara sebagai pengacara. Toh kita bisa berjalan bersama, mengisi dunia yang semakin rapuh ini.
Tak apa-apalah aku hidup dalam kondisi keuangan yang carut marut seperti saat ini. Yang penting pandai-pandai mensyukuri karunia-Nya. Hidup di negara yang masih ditimbuni hutang. Oleh sebab itu, saat negara kita sudah tergadai sedemikian rupa itu, rasanya perasaanku juga ikut tergadai. Kalau begini terus, bisa-bisa “barang kita” terpaksa digadaikan. Disekolahkan untuk tidak menjadi pintar. Aku ikut solidaritas kepada mereka yang dimiskinkan oleh sistem, solidaritas dengan saudara kita yang kebanyakan miskin tanpa banyak retorika. Kamu pikir aku mau kawin sama kamu? Tergantunglah.
Ini bangsa tidak bisa mandiri sampai seratus tahun ke depan, katanya. Kesejahteraan masih jadi masalah klasik yang tetap aktual, mau bilang apa lagi. Mereka yang keduluan mati telah mewariskan hutang, bukan harta yang bermanfaat untuk anak cucu. Demikianlah Indonesia sebagai negara kepulauan. Kita pernah bertemu dan kita belum pikun. Kita masih punya ingatan walau banyak hal yang telah terlupakan. Jangan bilang lupa, kamu belum pikun, sayang. Setiap hari memang ada peristiwa dan sejumlah kejadian yang bisa mengesankan dan bisa mematikan sekaligus. Celakanya kita lahir di tanah air yang kini dibelit hutang. Apa hubungannya? Pada dasarnya aku mungkin kangen padamu, cuma kularikan pada keindonesiaan.
Ada ingatan yang terus melekat, ada yang hilang begitu saja. Mungkin kamu pikir aku telah melupakanmu. Padahal tidak. Setiap waktu aku ingat pada perempuan yang punya nama sungguh indah, Ani Indrijani (ejaan lama). Tapi apa makna dari sebuah ingatan? Mungkinkah itu sebentuk cinta kasih? Atau mungkin kita sering dianiaya oleh waktu, atau oleh seseorang yang belakangan ini begitu dekat denganmu. Tumbuh keinginan kuat untuk senantiasa sadar dan introspeksi diri. Sabar saat bertempur dengan diri sendiri. Sudah banyak kisah cinta, semua orang mengalaminya. Jadi nggak usah didramatisir. Apa tulisan ini terlalu mendramatisir?
Mungkin aku tak sanggup lagi menggali inspirasi darimu, minimal hingga hari ini, sebelum engkau mau menyapaku kembali. Dan andai aku dihadapkan ke majelis sidang sebagai terdakwa, kelak, aku tentu akan membuat pledoi panjang tentang kebenaran, atau tentang cecunguk cinta yang ternyata masih kolokan. Celakanya tak ada sidang seperti itu, hanya ada dalam sidang imajiner. Majelis hakim yang terhomat, tolong terdakwa ini dibebaskan, karena jelas dia tak bersalah. Enak saja, bayar dong. Membuat pembelaan itu kan perlu kertas, memeras pikiran, mengetik dan lain sebagainya. Aku dapat sertifikat lowyer, itu sudah menghabiskan biaya berapa, coba? Belum lagi bikin tesis master, mengumpulin buku ini-itu untuk referensi, untuk dikutip disana-sini. Ya, sayang, aku paham semua itu.
Aku ingat, ada berita lucu nich: Menghadirkan saksi mirip “seseorang” memang rada susah. Peristiwa langka itu terjadi di sidang Pengadilan Negeri Yogyakarta, 17 Desember 1984. Terdakwa Indro dituduh melanggar pasal 362 KUHP karena mencuri. Terdakwa Indro duduk di kursi pesakitan dengan tenang. Namun, saat sidang berlangsung, hakim jengkel karena barang bukti tidak segera dibawa masuk ke ruang sidang. “Bagaimana barang bukti bisa tidak siap Saudara Jaksa?” tanya hakim. “Cepat bawa masuk!” perintahnya kemudian. Tak lama kemudian, panitera tergopoh-gopoh masuk ke ruang sidang, tapi tidak membawa barang bukti. Kemudian ia berbisik kepada hakim. Hakim kemudian mengetuk palu tiga kali dan menyatakan sidang diskors. “Maaf saudara-saudara, sidang terpaksa kami skors untuk memberi pertolongan kepada Saudara Jaksa,” begitu penjelasan hakim. Terdakwa, hakim, dan panitera berjalan keluar ruang sidang menemui jaksa yang digigit kera. Tangan jaksa tampak dibalut. Ia terlihat menahan rasa sakit. Sidang kemudian dilanjutkan kembali. Saksi yang kehilangan kera terpaksa ditugasi membawa barang bukti ke ruang sidang. Indro mengakui kesalahannya. Sidang berjalan lancar.
Sesekali pingin rasanya aku duduk sebagai pesakitan, dituduh berbuat makar pada penguasa, misalnya. Di Yogya dulu, tahun 1985, jauh sebelum reformasi, aku sering ikut demo menentang Soeharto, sempat mendekam di kantor polisi cuma sehari. Padahal aku cuma baca puisi di emperan malioboro, atas permintaan Emha Ainun Nadjib. Tapi puisinya memang nyelekit.
Ah, dik Ani Indrijani yang tersayang. Karena engkau telah jauh di sana dan tak tersentuh lagi, kadang proses kreatif jadi ikut macet. Atau justru dalam masa vakum seperti ini aku punya kesempatan mengungkai sesuatu yang lebih sublim, yang tak terduga. Atas nama pertemuan kemarin. Tapi mungkin aku hanya bicara pada diri sendiri! Kadang semuanya terasa hampa, kadang penuh harapan dan percaya diri. Tak ada sesuatu yang bisa memacu gairahku ketika aku tahu bahwa hidup ini saling bertolak belakang. Siapa tahu, kelak aku punya senjata yang bisa untuk menaklukkan kamu. Sekarang aku cuma punya peluru dua biji. Oh ya, aku dulu pernah kerja jadi wartawan Bali Post, lo. Aku nggak betah, cuma tahan tiga tahun.
Sejak itu, kita suntuk membahas seseorang yang tampan, yang gemar memelihara binatang. Ia telah menyimpan granat dalam tubuhmu. Konon granat itu ia temukan di belakang penjara. Kamu anggap itu bukan prestasi. Laki-laki yang kepalanya diikat kain hitam. Pernah mempertontonkan jurus-jurus silat kepadamu. Kisah ini cukup menarik, boleh jadi akan kujadikan bahan cerpen, kelak.
Sudahlah, aku telah banyak bicara di sini, apa adanya, yang sebenarnya, yang spontan berkelebat dalam pikiran dan perasaanku. Semua yang aku nyatakan hanya berangkat atas nama cinta. Kalau ada yang kurang berkenan, ada kata-kataku yang salah, itu semua berasal dari setan. Tapi jika ada yang benar, ketahuilah, semuanya berasal dari Allah yang telah mengaruniaiku hati selembut salju. Jangan dipercaya. Ada yang mengasikkan ketika aku berpikir keras mencari ungkapan yang tepat untuk seseorang yang benar-benar aku sayangi. Apakah aku, kaum Adam, pantas mendapat apresiasi yang tinggi, itu terserah kamu. Seterusnya terserah kamu. Juga terserah kamu jika kamu punya penilaian yang teramat curiga pada setiap laki-laki yang mencoba mendekatimu. Tentu saja, tidak semua laki-laki akan menyusahkan dan menambah beban deritamu. Terima kasih engkau telah membacanya sampai tuntas. Telah meluangkan waktumu yang sangat berharga itu untuk “teks” yang nggak jelas juntrungannya ini. Terima kasih untuk matahari dan bulan, malam yang ternyata sudah sungguh larut. Aku nggak bisa tidur.
Singotrunan, 17 -24 Maret 2008
Catatan penulis: Sejatinya ini sebuah cerpen, nama dan tempat hanya kebetulan saja, dan entah kenapa dalam prosesnya berubah menjadi semacam surat yang seperti catatan harian.
0 Response to "Sang Petualang"
Post a Comment