Negara Tanpa Hukum

Negara Tanpa Hukum

Bila banyak orang mengeluh bahwa Indonesia telah menjadi negara tanpa hukum, ini karena terlalu kasus yang membenarkannya. Hukum seolah cuma di mulut dan buku tapi tak ada hubungan dengan keadilan.

Indonesia adalah sebuah negara dimana ketika kepastian hukum makin sering dibicarakan, makin tak jelas pula dimana keadilan berada. Bahkan demokrasi yang telah hadir selama 16 tahun pun seolah malah menjadi bagian dari ketidakpastian hukum. Para politisi busuk, yang menunggangi demokrasi demikian kuat, dan mereka ‘berjuang’ untuk meruntuhkan KPK yang justeru paling diandalkan oleh masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Sekarang ini kekalahan KPK terhadap mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo dalam sidang Preperadilan dijadikan alasan oleh mereka yang sudah lama berseberangan dengan lembaga anti korupsi ini untuk melancarkan serangan baru. Fahri Hamsah dari PKS dan Profersor Romli Artasasmita dari Unversitas Padjajaran, menyarankan agar KPK melakukan koreksi diri. KPK, menurut kedua orang ini, memiliki banyak kelemahan yang harus diperbaiki.

Sayangnya, mereka tidak berbicara tentang perbaikan di tubuh lembaga penegak hukum yang lain. Mereka seolah mau mengesankan bahwa yang tidak beres itu KPK. Padahal, selama ini, yang paling banyak dikritik dan menjadi sumber gangguan terhadap rasa keadilan masyarakat adalah lembaga-lembaga penegak hukum lain. Sebaliknya, KPK adalah lembaga yang justeru selalu banjir pujian karena keseriusannya dalam menjalankan tugas.

Sekarang ini kasus yang sadang menjengkelkan para pendamba keadilan adalah Hakim Agung Timur Manurung. Ketika masih menjadi Ketua Muda Bidang Pengawasan Mahkamah Agung pada April lalu, Manurung terbukti beberapa kali makan malam bersama di restoran mewah bersama seorang tersangka kasus korupsi bernama Swie Teng. Swie Teng sekarang menjadi terdakwa di pengadilan Tipikor. Tapi Manurung hanya diberi peringatan tetap diizinkan memimpin pengadilan kasus korupsi.

Komisi Yudisial sudah mengajukan protes kepada Mahkamah Agung karena menganggap apa yang telah dilakukan oleh Manurung adalah pelanggaran berat terhadap kode etik hakim. Sanksi ringan yang dijatuhkan oleh MA tak bisa diterima oleh KY. Maklum, berdasarkan akal sehat, Manurung seharusnya dijatuhi hukuman berat karena dia adalah hakim senior dan berjabatan tinggi sehingga seharusnya menjadi teladan. Hanya saja, seperti biasa, protes KY ibarat ‘masuk telinga kiri keluar di telinga kanan’.

Sementara itu, sejak Desember lalu Anton Budi Santoso sudah kembali menjalankan tugas penuh sebagai hakim di pengadilan negeri Selong, Lombok Timur. Pada 2012, Anton direkomendasikan oleh KY agar dipecat karena terbukti melakukan jual-beli perkara senilai Rp 50 juta. Uang sebanyak ini diminta oleh Anton untuk memenangkan Linus Renwarin dalam pertarungannya di pengadilan melawan Budi Wijaya. Tapi Majelis Kehormatan Hakim memutuskan untuk hanya melakukan skorsing selama dua tahun kepada Anton.

Kasus KPK melawan tersangka koruptor di praperadilan juga mengundang kritik sangat keras dari para pakar hukum senior. Salah satu kritik keras dan meluas terjadi ketika praperadilan menerima gugatan status tersangka Komjen Budi Gunawan. Ketika itu Undang-Undang yang berlaku secara tegas dan jelas menyatakan bahwa “penetapan status tersangka bukan obyek praperadilan”. Kritik makin keras meluncur, di antaranya dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI) , karena hakim tunggal Sarpin menyatakan, meskipun jendral polisi berbintang tiga, Budi Gunawan bukanlah penyelenggara negara dan penegak hukum sehingga KPK tidak berhak menetapkannya sebagai tersangka.

Kini KPK juga dibuat bingung oleh keputusan praperadilan yang membebaskan mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo. Menurut hakim tunggal Haswandi, jaksa KPK tidak berhak melakukan penyidikan. Padahal dalam kasus Budi Gunawan, hakim menyatakan sebaliknya. Selama ini, pengadilan Tipikor bahkan Mahkamah Agung juga tidak pernah mempermasalahkan status penyidik KPK.

Dalam putusannya Haswandi juga tidak menyinggung sedikitpun bukti-bukti yang telah diserahkan oleh KPK. Padahal, ketika praperadilan membebaskan mantan walikota Makasar Ilham Arief Sirajudin, hakim menyalahkan KPK karena tidak menyerahkan barang bukti.

Mengacu pada KUHAP, Kabareskrim Konjen Budi Waseso, putusan hakim sudah tepat karena KUHP mengamanatkan bahwa penyidik harus dari kepolisian. Hanya saja, dia tidak menyebutkan bahwa menurut UU KPK, KPK berhak merekrut penyidik sendiri.

Semua peristiwa di atas tentu memperkuat opini publik bahwa meski memiliki aparat dan lembaga yang lengkap, Indonesia sesunggguhnya sedang dilanda anarki. Kalau toh ada, sesuai dengan opini publik yang terus berkembang, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Ini mungkin terkait dengan kenyataan bahwa masih sangat banyak peraturan pemerintah dan undang-undang di Indonesia yang berasal dari zaman kolonial. Padahal hukum di zaman itu dipakai untuk mengebiri kaum pribumi agar tak berkutik menghadapi penjajahan.

0 Response to "Negara Tanpa Hukum"

Post a Comment