Kasihan Rupiah
Pasar menunggu keputusan yang akan diambil The Fed pada Juni ini. Rupiah bisa kritis.
Umpatan yang diarahkan ke otoritas moneter, di hari-hari belakangan ini, semakin santer terdengar. Adapun yang menggerundel adalah kalangan pengusaha dan anggota DPR, yang merasa Bank Indonesia (BI) kurang sigap dalam menjaga nilai tukar rupiah. Sehingga, nilai tukar mata uang kesayangan rakyat Indonesia itu terus melemah.
Hari Senin (15/6) ini, rupiah hanya ditutup menguat tipis di level Rp 13.326 per dolar. “Rupiah merupakan mata uang terburuk nilai tukarnya. Bayangkan, dalam lima bulan lebih telah jatuh 800 poin lebih,” ujar seorang pengamat pasar uang. Masuknya rupiah ke level kritis, lanjutnya, lantaran ketidakmampuan bank sentral dalam menjaga rupiah.
Apa yang dikemukakan pengamat tadi, mungkin ada benarnya. Tapi, harus diakui, BI bukanlah satu-satunya “kambing hitam” yang menjadi penyebab lemahnya rupiah. Sebab, belakangan ini permintaan dolar juga luar biasa besar. Sedangkan dana asing yang masuk ke sini sangat seret. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Lihat saja, dolar menguat terhadap hampir semua mata uang.
Ini terjadi lantaran data perekonomian Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan tren membaik. Seperti terjadi pekan lalu, AS merilis core retail sales Mei yang tumbuh sebesar 0,7%. Ada pula data retail sales yang mencatat kenaikan 1,1%. Lalu angka pengangguran yang relatif stabil di angka 277.000 orang. “Jika kinerja Amerika terus membaik, rupiah akan kembali terpukul,” ujar Agus Chandra, Research and Analyst PT Monex Investindo Futures.
Membaiknya data perekonomian ini semakin meyakinkan para pemilik bahwa The Fed benar-benar akan mengerek tingkat suku bunganya pada Juni ini. Itu sebabnya, saat ini dolar menjadi buruan yang paling digemari para pemilik uang di dunia. Nah, melihat para pemain dunia yang begitu pede memborong dolar, para pemain lokal dengan segera mengambil keputusan beli. Mereka khawatir, penguatan akan terus berlangsung. Ketakutan itu terutama dialami oleh korporasi besar yang butuh dolar untuk bayar utang.
Di luar itu, ada satu faktor lainnya yang juga diduga ikut menggoyang rupiah. Tekanan inflasi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi di dalam negeri membuat mata uang Garuda sulit untuk bangkit. Tapi yang faktor utama paling bertangung jawab atas pelemahan rupiah adalah aksi angkat koper yang dilakukan oleh para investor dari pasar modal.
Sejak akhir Mei hingga pekan lalu, dana yang cabut dari Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai Rp 179 triliun lebih. Jika penarikan dana dari Indonesia terus berlanjut, diperkirakan rupa rupiah akan semakin kusut. Lantas, kalau begitu, mana janji Gubernur BI yang selalu berkoar bahwa BI akan selalu berada di pasar untuk menjaga rupiah agar tak sampai jauh dari level Rp 13.000 per dolar?
Menurut beberapa analis, BI juga sebenarnya terjun menjual dolar. Seperti terjadi Selasa pekan lalu, BI turun ke pasar dengan melepas dolar. Hasilnya, hari itu rupiah hanya melemah Rp 2 per dolar. Jauh lebih kecil dibandingkan hari Senin, ketika rupiah melemah hingga Rp 72 per dolar.
Masalahnya, yang dijaga otoritas moneter bukan cuma rupiah. BI juga memborong obligasi negara yang dilepas investor asing di pasar sekunder. Tujuannya, selain untuk mengurangi tekanan terhadap rupiah, langkah ini terpaksa diambil supaya imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN) tidak semakin membumbung tinggi. Soalnya, jika yield SBN terus membumbung, maka beban APBN akan makin berat.
Tapi, sebenarnya, tanpa faktor itu pun nilai tukar rupiah sulit dibuat stabil. Terbukti, berbagai upaya pemerintah dan BI tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Seperti kewajiban memakai letter of credit (L/C) untuk komoditas ekspor mineral, dampaknya hangat-hangat tahi ayam. Berdasarkan kenyataan itulah, Agus memperkirakan pekan ini rupiah masih berpotensi merelemah dan berada di kisaran Rp 13.270 – Rp 13.400 per dolar.
Sejumlah analis juga memperkirakan hal sama. Menurut mereka, pekan ini rupiah akan bergerak di kisaran Rp 13.275 – Rp 13.350. Tapi, itu dengan catatan jika tidak ada “dolar besar” yang masuk. Yang dimaksud dolar besar adalah hasil penjualan Eurobond yang akan dilakukan Juni ini. Penjualan obligasi dalam nominasi euro ini diperkirakan bakal menghasilan pemasukan 1,5 miliar euro – 2 miliar euro.
Masuknya euro dalam jumlah besar bakal bisa meredam guncangan terhadap rupiah. Masalahnya, pemasukan dana jumbo itu belum akan terjadi dalam dua – tiga pekan ke depan. Sementara bagi pemilik uang, pekan ini merupakan pekan yang sangat menentukan untuk mengambil sikap. Sebab, pekan ini dewan gubernur The Fed akan melakukan rapat (Federal Open Market Committee).
Nah, di rapat itulah naik tidaknya suku bunga The Fed akan diputuskan. Dan, seperti sudah ditulis sebelumnya, jika perekonomian AS terus membaik dan tingkat inflasi dapat dijaga di bawah level 2%, maka The Fed akan menaikkan suku bunganya secara perlahan. Mulai dari 0,25% hingga 2%. Rencana The Fed inilah yang membuat investor asing ke luar dari Indonesia dan menyebabkan nilai tukar rupiah kian terpuruk.
Untuk mengantisipasi rencana kenaikan suku bunga The Fed, pemerintah berencana menerbitkan Bond Stabilitization Fund (BSF). Hasil penjualan obligasi BSF tidak dipakai untuk membiayai pembangunan, tapi untuk membeli kembali (buy back) SBN yang dilepas investor asing.
Mampukah jurus ini menahan kejatuhan rupiah? Kita lupa bahwa fundamental ekonomi kita begitu rapuh.
0 Response to "Kasihan Rupiah"
Post a Comment