Nasib Golkar di Tangan Wakil Tuhan
Kisruh Partai Golkar makin ribet ketika putusan hakim PTUN belum menyentuh kepastian hukum. Padahal, tidak ada lagi kekuatan politik yang mampu mendamaikan konflik tersebut. Maka tidak ada jalan lain kecuali menuntaskannya di pengadilan.
Dalam sengketa kepengurusan partai Beringin, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur pada Senin, 18 Mei kemarin, terkesan belum memutuskan apa-apa. Betapa tidak, majelis hakim yang dipimpin hakim Teguh Satya Bhakti itu hanya membatalkan SK Menkumham, Yasonna Laoly, yang mengesahkan kepengurusan Munas DPP Golkar versi Ancol pimpinan Agung Laksono.
Majelis hakim PTUN juga memutuskan, bahwa kepengurusan DPP Golkar dikembalikan kepada kepengurusan hasil Munas Riau 2009 di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum dengan Idrus Marham sebagai Sekjen. Selanjutnya, majelis hakim menyatakan bahwa putusannya dianggap sebagai UU sampai ada putusan pengadilan lebih tinggi yang membatalkannya.
Untuk sementara waktu, meski putusan tersebut disambut sebagai ‘kemenangan’ oleh kubu Aburizal Bakrie, namun di kubu inipun para pengurus dan kader di daerah dilanda kebingungan. Tak terkecuali bagi kubu Agung Laksono dimana mereka lebih sakit hati lagi karena dukungan pemerintah melalui Menkumham ternyata tidak menjamin legitimasi negara terhadap kepengurusannya.
Majelis hakim PTUN memutuskan perkara yang bukan merupakan bagian gugatan dari kubu Aburizal Bakrie sebagaimana tecermin pada putusan dikembalikannya kepengurusan hasil Munas yang sudah kadaluarsa, jelas membingungkan kedua belah pihak. Sebab, sesuai anggaran dasar partai, kepengurusan Munas Ancol 2009 dianggap sudah gugur dengan sendirinya setelah pelaksanaan Munas Bali dan Munas Ancol berlangsung. Inilah kenapa keputusan PTUN tersebut tidak mengakhiri dualisme kepemimpinan yang ada.
Putusan PTUN malah mengesankan majelis hakimnya ikut terlibat dalam arena politik, yakni bermain di area aman. Tidak jelas siapa yang berhak dan siapa yang harus ditindak. Padahal, meskipun wewenang hakim PTUN terbatas pada ruang lingkup administrasi, tapi bisa saja majelis hakimnya melakukan terobosan hukum demi terwujudnya kepastian hukum.
Terobosan hukum dipandang sangat penting ditempuh mengingat dua hal pokok. Dalam konflik Golkar sekarang ini, nyaris tidak ada lagi kekuatan politik yang mampu mendamaikannya, termasuk keluarga Cendana yang punya saham dalam membesarkan Golkar sekalipun. Ini tecermin upaya Tommy Soeharto untuk menjadi mediator penyelenggaraan Munas bersama, yang ternyata tak digubris oleh kedua kubu yang berseteru.
Perlunya terobosan hukum untuk menyelesaikan konflik Golkar juga dilatarbelakangi oleh kebutuhan menjaga stabilitas negara. Sebab bila ferus berlarut, bisa menganggu pelaksanaan Pemilukada yang akan berlangsung pada pertenganhan tahun ini.
KPU, setidaknya bakal direcoki akibat konflik tersebut. Kemungkinan paling buruknya, masyarakat sebagai konstituen mengalami konflik horizontal. Ini akibat tarik-manarik konflik vertikal antar calon kepala daerah yang saling diusung oleh dua kubu Golkar beserta sponsor elit politik non-Golkar dan korporasi di belakangnya.
Sekarang ini saja, pasca putusan PTUN tersebut terbit, tawaran kompromi atau islah dari kubu Agung Laksono dalam hal sebatas Pemilukada, tidak bakal menuntaskan persoalan dualisme kepemimpinan Golkar. Sebab kalau calon yang diusung Golkar kelak menang, hal itu rawan digugat oleh barisan koalisi parpol yang kalah.
Ujung-ujungnya, malah KPU yang dikroyok secara hukum oleh pecundang barisan parpol tersebut. Pasalnya, kalaupun putusan PTUN yang mengembalikan kepengurusan Golkar versi Munas Riau dijadikan rujukan KPU dalam pengesahan peserta dan pemenang Pemilukada, putusan PTUN akan dianggap bukan merepukan putusan final. Itu selama Menkumham tidak mencatatkannya secara resmi kepengurusan mana yang sah. Terlebih lagi andai kubu Agung Laksono mengajukan banding. Baik Menkumham maupun KPU lebih terombang-ambing lagi.
Dalam hal inilah, sebagai wakil Tuhan di muka bumi, terobosan hakim semakin penting ditempuh, agar dapat menjadi pijakan hukum bagi para hakim di peradilan lainnya dalam menuntaskan sengketa internal partai politik. Andai terobosan itu muncul, masing-masing pihak bertikai dengan sendirinya akan diuji untuk menerima atau menolak pada koridor konstitusional.
Bila majelis hakim memutuskan kubu Aburizal Bakrie yang sah, maka atas nama kepastian dan ketertiban hukum, kubu Agung Laksono dipaksa secara konstitusional untuk tunduk pada putusan. Kalaupun menolak, toh konstitusi juga memberikan celah untuk melakukan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) sampai ke tingkat Pembuktian Kembali di Mahkamah Agung. Sebaliknya, bila majelis hakim memutuskan kubu Agung Laksono yang sah, mekanisme tersebut juga berlaku.
Sikap menerima dan menolak di antara dua kubu yang bertikai itulah merupakan ajang pembuktian tingkat kedewasaan politik yang terikat dengan kepastian dan ketertiban hukum. Dalam arti, negara sebagai wadah kepentingan publik luas tidak boleh cedera hanya karena kepentingan Golkar.
Problemnya memang ketika salahsatu kubu tidak menerima lalu mengajukan upaya hukum di atasnya. Kalau persoalannya akan menggerus loyalitas pemilih Golkar dalam Pemilu, itu bukan urusan negara, tapi rumah tangga Golkar. Yang jadi persoalan adalah ketika Pasal 33 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik tidak mengatur jangka waktu penyelesaian sengketa kepengurusan partai, dan di saat bersamaan jadual Pemilukada juga sedang berjalan.
Dalam hal ini, amar putusan majelis hakim PTUN atau PT-TUN pada terobosan hukumnya bisa saja memutuskan dua hal pokok. Pertama, memutuskan salah satu kepengurusan yang sah. Tapi upaya hukum di atasnya yang diajukan pihak keberatan diperintahkan oleh pengadilan untuk ditangguhkan sampai Pemilukada berjalan selesai. Dalam arti, hingga sampai sengketa Pemilukada diputuskan di Mahkamah Konsitusi (MK).
Pilihan kedua, memutuskan salah satu kepengurusan yang sah. Dan bila salah satunya menolak, maka pengadilan memerintahkan kedua belah pihak untuk menyelenggarakan Munas bersama sebagai jalan tengah. Munas itupun mesti diberi tenggat waktu. Misalnya dalam satu bulan ke depan sudah harus menjadi lembar resmi keabsahan kepengurusan parpol oleh Kemenkumham. Pengesahan itupun mesti dilakukan sebelum KPU mencatatkan secara resmi nama-nama calon kepala daerah yang diusung partai politik.
Bila perlu, andai majelis hakim dalam menggali bukti-bukti perkara menemukan kasus sebagai pelanggaran serius, mereka juga bisa menerbitkan rekomendasi kepada MK untuk membubarkan Golkar. Ini lebih baik ketimbang roda pemerintahan sekarang ini berjalan kurang lancar akibat tarik-menarik kepentingan segelintir elit dan korporasi di balik kisruh Beringin ini. Manuver trio ‘KMP’ (Kalla-Paloh-Mega) yang mendukung kubu Agung Laksono dan dukungan terselubung Presiden Jokowi terhadap kubu Aburizal Bakrie, merupakan etalase tarik-menarik kepentingan politik sempit tersebut.
Jangan sampai tarik-menarik dalam konflik itu berakibat pada terhambatnya roda pemerintahan sekaligus memecah belah antar elemen bangsa. Maklum saja, sebagai bekas mesin rezim Orde Baru dan dengan segala penataan Golkar pasca reformasi 1998, simpatisan partai ini masih mengakar di pelosok tanah air. Lihat saja, sejak Pemilu 1999 sampai 2014 kemarin, Beringin masih saja berada di klaseman papan atas dalam catur perpolitikan di Indonesia.
Nah, andai majelis hakim menempuh opsi terakhir tersebut, jangan sewot, bung! Namanya juga terobosan hukum.
Source : indonesianreview.com
0 Response to "Nasib Golkar di Tangan Wakil Tuhan"
Post a Comment