Utopia Jokowinomics?
Rupiah terperosok makin jauh ke zona merah dan sulit berbalik ke bawah area Rp. 13.000. Pertumbuhan ekonomi pun kian terpangkas. Kenyataan pahit ini makin terasa kelu jika disandingkan dengan kinerja ekonomi global yang juga berada di jalur lambat.
Disisi lain, statistik utang terlihat terus membubung seiring melesetnya berbagai prediksi ekonomi makro pemerintah. Lambatnya realisasi belanja infrastruktur menurunkan kuantitas belanja publik, yang selanjutnya berimbas pada memburuknya angka impor barang-barang modal. Ini jelas berpengaruh pada kinerja ekonomi nasional kuartal pertama tahun 2015, dan mau tidak mau akan memangkas angka pertumbuhan ekonomi untuk kuartal kedua tahun ini.
Risiko lanjutannya adalah mengecilnya porsi penyerapan lapangan kerja ditengah-tengah semakin membludaknya pasokan tenaga kerja. Tak bisa tidak, penambahan pengangguran menjadi ancaman baru ekonomi nasional. Hal ini akan melemahkan tingkat permintaan dalam negeri, dan membuat dunia usaha berpikir ulang untuk berekspansi. Imbasnya adalah semakin kecilnya lapangan kerja, yang akan menjerumuskan banyak orang ke bawah garis kemiskinan.
Menurunnya permintaan dalam negeri dari sisi belanja pemerintah juga bersanding dengan memburuknya permintaan rumah tangga. Pemangkasan subsidi beberapa barang publik menyedot pendapatan dan menurunkan tingkat konsumsi rumah tangga, yang sudah sejak lama menjadi penopang pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Selain terlambatnya realisasi belanja infrastruktur, surplus perdagangan bulan lalu nyatanya hanya kemenangan semu semata. Positifnya angka ekspor ternyata disebabkan oleh mengempesnya angka impor. Sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa kondisi ekonomi riil dalam negeri sedang berada dalam jalur kontraksi, bukan ekspansi, karena dunia usaha dalam negeri mengerem kran import yang berarti melambatkan percepatan ekspansi bisnis.
Penyebab utama penurunan impor adalah pelemahan Rupiah. Importir memilih untuk menunggu, bahkan menghentikan aktifitas impor berbagai bahan baku dan barang modal, sampai rupiah kembali ke level ramah impor. Jika importir memaksakan diri, maka akan semakin besar biaya selisih mata uang yang harus ditanggung dan serta merta akan berakibat pada kenaikan harga jual dalam negeri.
Jika harga-harga barang impor yang dijual dalam negeri mengalami kenaikan, maka dipastikan akan menjadi bencana bagi bisnis para importir ke depan. Ini karena daya beli masyarakat juga kian terpangkas akibat pencabutan subsidi berbagai barang publik. Artinya, pelemahan rupiah dan mengendornya daya beli dalam negeri benar-benar menjadi momok mematikan bagi dunia usaha, terutama yang mengandalkan bahan baku impor.
Niat pemerintah menggenjot ekspor dengan membiarkan rupiah melemah nyatanya tidak semudah membalik telapak tangan. Exposure import Indonesia yang cukup besar akan menjadi penghalang utama. Karena jika rupiah dibiarkan terperosok tajam, maka rantai impor akan terganggu dan akan membuat pasokan beberapa barang import menjadi terganggu. Ini kemudian akan berpengaruh terhadap kenaikan harga jual dalam negeri dan akan mempertinggi tingkat inflasi. Inflasi yang memburuk juga akan membuat pertumbuhan ekonomi ikut memburuk dan semakin memangkas daya beli masyarakat yang sudah buruk pula.
Selain exposure import, rendahnya harga komoditas global akibat ketidakpastian harga minyak dunia juga telah memangkas pendapatan dari sisi ekspor komoditas. Bahkan bukan hanya itu, kontraksi ekonomi Tiongkok dan gonjang-ganjing negosiasi utang Yunani yang merepotkan kawasan Eropa juga mengirim ancamana pelemahan permintaan atas beberapa komoditas eksport Indonesia.
Dengan kondisi ini, pemerintah akhirnya dipaksa untuk terus-menerus mencari celah penambahan anggaran demi peningkatan belanja pemerintah, terutama belanja infrastruktur, agar permintaan dalam negeri kembali naik dan import barang-barang modal meningkat dan bisa membantu rupiah sedikit bertahan di level yang agak moderat.
Aksi sepihak pemerintah yang terus-menerus menggali berbagai sumber pendapatan tersebut akhirnya juga kembali ke jalur lama, yakni penambahan utang melalui penerbitan surat-surat berharga negara. Mau tidak mau, dalam kondisi rupiah yang terseok-seok, surat-surat berharga “made in” pemerintah akan seksi dimata investor-investor asing, begitu juga dengan instrument-instrument finansial lainya yang diperjual-belikan secara masif dan terbuka di bursa karena menajamnya selisih mata uang.
Tak bisa tidak, hot money kian bertambah, suku bunga tinggi juga harus dipertahankan layaknya negara-negara emerging market lainya agar modal-modal tidak berhamburan keluar negeri. Imbas lanjutannya adalah langkanya liquiditas kredit bagi dunia usaha dalam negeri untuk ekspansi atau untuk pembukaan usaha baru karena beban bunga yang jauh dari harapan.
Sehingga mau tidak mau, dunia usaha pun lebih memilih menambah utang dari pembiayaan-pembiayan yang berbasiskan mata uang asing karena bunga yang ditawarkan sangat seksi. Rata-rata bunga kredit berdenominasi dolar hanya berkisar antara 3-4% per tahun, dibanding bunga kredit dalam negeri yang berkisar antara 13-14% per tahun.
Akhirnya utang publik dan utang swasta saling berpacu, rasio utang terhadap PDB makin bertambah. Jika rupiah terus-menerus dalam keadaan labil, maka utang-utang inipun terancam default, terutama utang-utang swasta. Buruknya prospek ekonomi dalam negeri membuat prospek bisnis merekapun menjadi buram. Alhasil, ancaman gagal bayar pun tak bisa ditangkis jika rupiah masih bertengger dilevel yang kritis.
Jadi gambaran yang tepat untuk Jokowinomic adalah komplikasi ekonomi. Situasi nampaknya semakin sulit, bahkan Jokowinomic pun nyaris tinggal nama karena cuma tenar untuk pelaku-pelaku usaha asing yang benar-benar diuntungkan oleh pelemahan Rupiah. Pelan-pelan istilah ini hilang di ruang publik alias semakin jarang digunakan, minimal sudah tidak sesering waktu-waktu yang lalu dimana hampir setiap pakar ekonomi yang berlindung dibalik popularitas Jokowi menggunakan istilah ini. Sampai hari ini, dengan berat hati harus dikatakan bahwa Jokowinomic ternyata memang bukan untuk kalangan “wong cilik” dan kalangan “marhaen”, tapi untuk negara-negara yang sedari dulu berharap bisa menginvasi Indonesia dari sisi ekonomi dan politik. Entahlah
0 Response to "Utopia Jokowinomics?"
Post a Comment