Revisi UU KPK, Antara Esensi dan Retorika

Revisi UU KPK, Antara Esensi dan Retorika

Retorika klise untuk mengelabui publik

Yasonna H.Laoly adalah mantan politisi PDIP, parpol besar yang juga mempunyai rekor kasus korupsi yang cukup tinggi
.

Jika hanya dibaca secara harfiah dan dilepaskan dari konteksnya, omongan Menkumham, Yasonna H. Laoly (YL), tentu baik-baik saja dan masuk akal. Dia mengatakan bahwa tidak ada UU yang sempurna, sehingga revisi terhadap sebuah UU pun, dalam hal ini UU KPK, adalah hal yang wajar. Bahkan, masih menurut YL, jika ada pihak yang menganggap revisi UU sebagai pelemahan KPK, maka hal itu termasuk berprasangka buruk (su'udzon). Omongan seperti ini sudah sangat klise gaya politisi yang mencoba menutupi niat atau motif dan memanipulasi logika serta norma hukum utk kepentingan tertentu.
Dalam hal revisi UU KPK, hemat saya, kita mesti menjawab lebih dulu pertanyaan-pertanyaan ini: 1) Seberapa urgenkah revisi tersebut dalam konteks peran dan fungsi KPK saat ini dan di masa depan?; 2) Apakah revisi tersebut muatannya akan lebih memperkuat tupoksi KPK atau melemahkannya?; 3) Siapa yang mempunyai gagasan dan kepentingan revisi tersebut, dan bagaimana respon pihak KPK sendiri secara kelembagaan; 4) Bagaimana reaksi publik mengenai gagasan revisi UU KPK.

Dalam pandangan saya, jawaban nomor 1 dan 2 cenderung negatif. Jawaban atas pertanyaan ke 3 juga jelas, bahwa ide tersebut lebih cenderung datang dari pihak-pihak yang selama ini dikenal sebagai pendukung pelemahan KPK, sedangkan jawaban keempat juga cenderung negatif.

Revisi UU KPK lebih merupakan bagian integral dari rangkaian gerakan pelemahan lembaga anti rasuah tersebut. Kiprah KPK yang dalam kurun waktu relatif pendek telah berhasil membongkar berbagai kasus korupsi kakap yang melibatkan elite politik dan pemilik modal di negeri ini, tentu sangat memukul kemapanan dan kenyamanan mereka. Terutama para politisi dan parpol tertentu paling terpukul dengan kiprah KPK yang tidak bisa mereka kendalikan, kontrol, dan bahkan tekan.

Kasus-kasus korupsi kakap yang melibatkan pimpinan parpol dan politisi di Parlemen (pusat dan daerah), bukan saja merugikan pribadi-pribadi yang masuk bui, tetapi juga berkontribusi besar dalam keterpurukan partai mereka dalam Pileg, Pilpres, dan Pilkada. Padahal kiprah KPK sudah mengalami berbagai ganjalan dan pelemahan sistematis terus menerus, sementara Pemerintah baru di bawah Presiden Jokowi (PJ) juga masih belum benar-benar menampakkan komitmen nyata untuk mendukung KPK. Bahkan dari kasus kriminalisasi tokoh-tokoh KPK, seperti Abraham Samad (AS), Bambang Wijoyanto (BW), serta kemudian Novel Baswedan (NB), banyak pihak yang kian memandang PJ tidak konsisten dengan platform politik ketika menjadi capres!

Belum lagi fakta bahwa YL adalah mantan politisi PDIP, parpol besar yang juga mempunyai rekor kasus korupsi yang cukup tinggi. Saya sangat skeptis bahwa omongan YL di atas merupakan sebuah komitmen memperkuat KPK melalui revisi. Sebaliknya, saya lebih yakin bahwa omongan di atas tak lebih dari retorika klise untuk mengelabui publik dan membelokkan (distorting) pandangan mereka dari sebuah proyek besar yang bernama pelemahan KPK secara terstruktur, sistematik, dan massif. Jika PJ nanti mendukung revisi UU yang disemangati oleh upaya pelemahan KPK, maka semakin terbukti keraguan publik yang kini sudah mulai bersemi terhadap komitmen beliau terhadap pemberantasan korupsi sesuai doktrin Nawa Cita itu. Kendati PJ sudah menolak revisi UU KPK, tetapi intinya masih ada pesan bahwa internal Pemerintah belum padu untuk tidak melemahkan KPK.

0 Response to "Revisi UU KPK, Antara Esensi dan Retorika"

Post a Comment